Firman Allah dalam QS At Taubah [9]
: 123;
“Maka apakah
tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh”
(memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila
mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas
perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi :
“Barangsiapa
dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya
diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk
mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik
yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang
jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”.
Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya
dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
II. Perkembangan Ilmu Fiqih
A. Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum
(terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta
semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi
hukum dan diikuti oleh umatnya.
Dalam masa Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul.
Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang
sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah
dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat,
terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan
kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan
pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu
disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum
Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu
diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan
pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang
mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati
larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak
menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon
kurma, seraya bersabda
“Kamu lebih mengetahui urusan
duniamu”.
Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api
dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian
masak dalam periuk itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi
kemudian berkata : “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah
seorang sahabat berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan
kami mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.
Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok
syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan
musyawarah dan kemaslahatan.
Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan
“ijtihad pribadi” maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan
kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap
ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan
pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan
menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah
sebagai berikut :
- Dalam perang Zatu al Salasil (perang
musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash
takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum
dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada
Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat
bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka
‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.” (QS An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi
komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan
persetujuannya.
- Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin
Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak
mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar
ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar
berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber
tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk
menunda shalat.
Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan,
Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang
benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke
tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.
- Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk
Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk
saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab
(Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu
musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung
diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun
selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi
bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali
di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda
Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas
pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami
sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh
melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas
menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua
pemahaman tersebut.
Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat
dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi
yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum
diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para
sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah
tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar
memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits
maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan
kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu
Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat
Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat
pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak dapat
dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar
baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada
kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota
yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan
mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau
memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan
Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin,
yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan
hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
“Ikutilah jejak dua orang
sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR
Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
“Maka bahwasanya siapa yang hidup
(lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak.
Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi
hidayah.” (HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha
sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum.
Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi
disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi adalah generasi Islam
yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan
diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah :
100 :
“Orang-orang yang terdahulu lagi
pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku,
sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”
Para Sahabat itu para murid yang
ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang
turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya
hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus
manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu
sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat
orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
- Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di
Mekkah.
- Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di
Kufah.
- Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di
Madinah.
- Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya
di Mesir.
- Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus
(Syria).
- Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Aisyah, Ummul Mukminin
- Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan
hadits Nabi.
- Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di
Basrah.
Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1.
Dengan musyawarah diantara ahlul hal
wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat
besar.
2.
Patuh dan tidak menyelisihi
keputusan Amir.
3.
Tidak berfatwa untuk sesuatu yang
belum terjadi.
Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab
tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab :
“Apakah hal itu telah terjadi ?” Aku
menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu
terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan
pendapat kami”.
4.
Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa
Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus,
lalu Umar bertanya padanya : “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab :
“Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu
aku akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu,
sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu
kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu
pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu
pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak
kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”.
5.
Menjauhi pembahasan ayat-ayat
Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas
ayat-ayat mutasyabih.
C. Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat
Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
1.
Mengumpulkan riwayat hadits dan
fatwa sahabat.
2.
Ber ijtihad untuk masalah-masalah
yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya
berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan
sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah
- Said bin Al Musayyab
- Urwah bin Zubair
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit
- Abu Bakar bin Abdurrahman
- Sulaiman bin Yasar
- Ubaidillah bin Abdullah
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
- Atha’ bin Abi Rabah
- Thawus bin Kisan
- Mujahid bin Jabar
- Ubaid bin Umar
- Amru bin Dinar
- Ikrimah maula Ibnu Abbas
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
- Amru bin Salamah
- Abu Maryam al-Hanafy
- Ka’ab bin Sud
- Hasan Al Basri
- Muhammad bin Sirin
- Muslim bin Yasar
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
- Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
- Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
- Syuraih al Qadhy
- Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
- Rabi’ bin Khutsam.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
- Yazid bin Abi Habib
- Bakir bin Abdillah
- Amru bin Al-Harits
Mufti dan Fuqaha di Yaman :
- Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
- Abdul Raziq bin Hamman
- Hisyam bin Yusuf
- Muhammad bin Tsur
- Samak bin Al-Fadhl
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
- Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
- Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
- Yahya bin Yahya
- Abdul Malik bin Habib
- Baqi bin Makhlad
- Qasim bin Muhammad
- Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)
Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih
(Fuqaha), yaitu :
- Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi
Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan
Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
- ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul
Mukminin.
- Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al
Makzumi (wafat 94 H).
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94
H).
- ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99
H), guru Umar bin Abdul Azis.
- Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan
Ummu Salamah.
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai
ilmu faraidh (warisan).
D. Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin
Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad
bin Idris Asy Syafi’i.
Mufti dan Fuqaha di Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin
Anas.
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah,
Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly,
Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu
Hanifah
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al
Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad
bin Idris Asy Syafi’i.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit,
lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau
lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi.
Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan
memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering
pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang
melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui
ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian
beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi
Rabah, Abu Ishaq As Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf,
Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak
bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat
dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal
Al-Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali.
Imam Syafi’i berkata : “Semua kaum muslimin berhutang budi
pada Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu
anak-anaknya.”
Imam Malik berkata : “Subhanallah, saya tidak pernah melihat
orang seperti dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas,
tentu ia akan dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.”
Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata
: “Saya mengambil Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang
tidak saya jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW,
dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan. Jika
saya tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya akan mengambil fatwa
para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak
akan keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim,
Sya’bi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad
sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail bin Iyadh mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan
pada hadits yang shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya.
Begitu juga dari sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas
dengan cara yang sangat baik”.
Al-Dabussi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu
Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat
dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam
Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar
permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq), memahami isi dan
misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan
hukum-hukum.”
Imam Abu Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang
mempelajari hadits, sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker
yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan,
akhrinya dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak
mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.
Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam
pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan
Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur
Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak
oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali
sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al
Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak
diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa
dalam penjara.
Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang
dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu
Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan
dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.
Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah :
- Al-Qur’an
- Hadits dari riwayat kepercayaan.
- Ijma’
- Fatwa Shabat
- Qiyas
- Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang
lebih kuat).
- Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah
dikalangan manusia)
Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan
dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis
dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy
dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi
ra’yu (Qiyas) lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak
menggunakan hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1.
Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al
Hasan.
2.
Al-Jami’us Shaghir, karya : Muhammad
bin Al Hasan.
3.
Al-Jami’ul Kabir, karya : Muhammad
bin Al Hasan.
4.
As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad
bin Al Hasan.
5.
AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad
bin Al Hasan.
6.
Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al
Hasan.
7.
Al-Kafi, karya : Abdul Fadha’ Hammad
bin Ahmad.
8.
Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin
Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1.
Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad
bin Al Hasan.
2.
Haruniyat, karya : Muhammad bin Al
Hasan.
3.
Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al
Hasan.
4.
Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al
Hasan.
5.
Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqi’at :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin
Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda
beliau sudah hafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits
kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran.
Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu Nu’man.
Ibnu Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut
ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap
rumahnya, kemudian di jual kepasar”.
Imam malik sangat memulikan
ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam
keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena
beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan
: “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya Yahya bin Sa’ad,
Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur
dalam periwayatannya.
Abu Dawud mengatakan :
“Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari
Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari
ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu
Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al
Musayyab atau Hasan Al Basri.”
Sufyan mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’
telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”.
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu
hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.
Imam Malik juga dikenal
sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy
meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang
laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan
tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah
kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”.
Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab
: “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan
Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya
orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang
kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas
mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak
gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas
mengharamkannya.
Imam Malik dipandang ahli
dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang penguasaannya
dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : “Aku telah menulis dengan
tanganku sendiri 100.000 hadits”. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’,
merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa “akad orang
yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena
bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa
adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Ja’far bin
Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik
menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya
retak dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu
namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata
umat.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad dan
mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , “ Ilmu
itu didatangi bukan sebaliknya”. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua
anaknya Al Ma’mun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al
Muwatta’.
Khalifah Harun Al Rasyid
pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’
sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah
tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa
Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing
mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab
kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syada’id Abdullah bin Umar
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
- Al-Qur’an
- Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk
Madinah).
- Ijma’
- Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
- Qiyas
- Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena
alasan mencari maslahat)
- Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah),
mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan
atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1.
Kitab Hadits, Al Muwatta’.
2.
Syada’id
Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin
Umar yang keras)
3.
Rukhas Abdullah
bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin
Abbas yang ringan)
4.
Shawazh
Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin
Mas’ud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
(150-204 H)
Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab
Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau
lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan
Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam
Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh
ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau dikenal sebagai murid
yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Qur’an.
Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari
Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu
dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari
fiqih.
Imam Syafi’i kemudian berguru
kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam
Syafi’I sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun
bacaan Al-Qur’an imam Syafi’i yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya
menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk
memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam
Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al
Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga
oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah
meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di
Madinah.
Dengan diantar gubernur
Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang
suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah
pemuda Syafi’i bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar,
apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal
kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya
menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafi’i kemudian
menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafi’i juga
dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada jamaah pengajian
Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i tinggal bersama Imam Malik bin
Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih
dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun
mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam
Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah).
Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang
dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun
berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia,
Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi’i
mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari
mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun
di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam
Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam
Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama empat tahun lebih tinggal di rumah
Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik
pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik,
ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu
keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri
Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan
mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam
Syafi’i. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi
sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah
binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang
putri.
Di Yaman Imam Syafi’i juga
masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau juga
banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada waktu itu Yaman
merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak
terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka
beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap
dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan
berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala
tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah
bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan
menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad
ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari
fiqih.
Pada sekitar tahun 200 H,
Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru
tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus
mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang
Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam
Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari
fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan
fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar
dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai
wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafi’i :
1.
Al-Qur’an
2.
Hadis
3.
Ijma’
4.
Qiyas
5.
Istidlal
Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika,
perumus dan yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar
Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari
Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara
mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling
bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi’i Juga
melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah
mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafi’i :
1.
Ar Risalah, kitab pertama yang
menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2.
Al ‘Um (kitab induk), berisi
pembahasan berbagai masalah fiqih.
3.
Jami’ul Ilmi.
4.
Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian
terhadap metode Istihsan.
5.
Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan,
berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan,
murid utama Imam Abu Hanifah.
6.
Siyarul Auza’y, berisi pembelaan
terhadap Imam Al-Auza’y.
7.
Mukhtaliful Hadits, berisi cara
mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
8.
Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan
hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.
Imam Ahmad bin
Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal
ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya.
Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan
merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak
berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi
mengembara menuntut ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah,
Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah
ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin
Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut
ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan
: “Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”.
Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku telah
menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam
diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar kepala”.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat
itu kaum Mu’tazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran
mereka dan mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum
Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan pendapat itu
kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi
ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum
berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau
disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau
karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di Tharsus,
sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai
dilaksanakan.
Sepeninggal Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu
Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum
Mu’tazilah dan progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam
Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah
Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum
ulama-ulama Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan
Al-Qur’an.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam
Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah
mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli
hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1.
Al-Qur’an
2.
Hadits
3.
Ijma’ Sahabat
4.
Fatwa Sahabat
5.
Atsar Tabi’in
6.
Hadits Mursal / Dhaif
7.
Qiyas
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak
menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad).
Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah
daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
- Tafsir Al-Qur’an.
- Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang
tebal.
- Kitab Nasikh wal Mansukh.
- AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
- Jawabatul Qur’an.
- Kitab At Tarikh.
- Al Manasikul Kabir.
- Al Manasikus Saghir.
- Tha’atur Rasul.
10.
Al-‘Illah.
11.
Kitab Zuhud.
12.
Kitab Ash Shalah.
III.
Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala
kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara’ dari sumbernya
(Al-Qur’an dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said
Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar
sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan ra’yu (qiyas) dalam
metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1.
Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan
hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti
ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin
Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2.
Negeri Hijaz yang berada di
pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan
sosial.
3.
Banyaknya Hadits dan atsar yang
mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih statis menyebabkan
mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri
dengan memegangi teks-literalis nash.
4.
Mengikuti guru mereka, yaitu
Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan sangat
hati-hati dalam menggunakan ra’yu (qiyas).
B. Aliran Ra’yu
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut
dengan perang Jamal yang menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak
mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin.
Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu
terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu
Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain
saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul
hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing.
Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat
Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah
sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An
Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan ra’yu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar
daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
- Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak
yang tinggal di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka
terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah
menerima hadits dari : Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi
Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin
Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
- Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari
kelompok Syiah Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih
selektif dalam menerima hadits.
- Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz,
berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam,
penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju
(rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah
dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih
tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits
yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
- Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis,
mencakup seluruh kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang
muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat
bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan
hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid
syari’ah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat.
Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap
bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan
hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen syari’atannya.
- Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari
sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang dikenal mengikuti Umar bin
Khattab yang banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah,
maqashid syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada suatu hari Rabi’ah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al
Musayyab (ahli hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong
:
Rabi’ah :”Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang
perempuan ?”
Said Al Musayyab: “10 ekor onta”.
Rabi’ah : Jika dua anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : “Jika tiga anak jari ?”
Said Al Musayyab :”30 ekor onta”.
Rabi’ah : “Jika empat anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : ”Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin
besar diyatnya ?”
Said Al Musayyab : “Apakah anda bermazhab ulama Iraq ?
itulah sunnah saya telah terangkan”.
Demikianlah ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks
hadits, sedangkan ahli ra’yu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak
diketahui illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana
diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari
sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di
Mekkah, kemudian Al Auza’i bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auza’i : “Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika
ruku’ dan I’tidal ?”
Abu Hanifah : “Karena tidak ada hadits yang shahih dari
Rasul”.
Al Auza’i : “Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari
Salim, dari ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada
mengangkat tangan saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.
Abu Hanifah : “Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad
bin Sulaiman dari Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak
mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat saja”.
Al Auza’i : “Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan
anda kemukakan penilaian tentang Hammad”.
Abu Hanifah : “Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih
daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang
derajadnya daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.
Mendengar jawaban itu, Al Auza’i pun minta diri. Dari situ
tampak bagaimana Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan
kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli
hadits dan ahli ra’yu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang
hanya memegangi makna zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits
tanpa mau memegangi makna lainnya.
Kalau digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab
dalam menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis
kurang lebih seperti dibawah ini :
Hadits
Qiyas
Tekstualis
Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i -
Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu
ada beberapa ulasan tentang Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi
sumber perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan
pendapat didalam Fiqih :
1.
Perbedaan memahami Al-Qur’an
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2.
Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan)
dengan qiyas dan atau illat syari’ah
3.
Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a.
Berpegang pada dalalatul Qur’an
i.
Menolak mafhum mukhalafah
ii.
Lafz umum itu statusnya Qat’i selama
belum ditakshiskan
iii.
Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang
tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b.
Berpegang pada hadis Nabi
i.
Hanya menerima hadis mutawatir dan
masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii.
Tidak hanya berpegang pada sanad
hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c.
Berpegang pada qaulus shahabi
(ucapan atau fatwa sahabat)
d.
Berpegang pada Qiyas
i.
mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e.
Berpegang pada istihsan (keluar dari
Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i.
zhahir Nash
ii.
menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal
penduduk Madinah daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e.
Qiyas
f.
Istihsan
g.
Mashlahah al-Mursalah
(mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan intimidasi
dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafi’i
a.
Qur’an dan Sunnah (artinya, beliau
menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu
merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i
digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks
hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
b.
Ijma’
c.
hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih
mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d.
Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e.
Beliau tidak menggunakan fatwa
sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a.
An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis.
Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur’an)
menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan
dari Imam Syafi’i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan
dari Imam Abu Hanifah)
b.
Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa
sahabat)
c.
Ijma’
d.
Hadis dhaif
e.
Qiyas
IV.
Pembagian
Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul
Mujtahid” membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1.
Bagian Ibadah.
1.1. Kitab
Taharah
1.1.1. Taharah dari hadas
1.1.2. Taharah dari najis
1.2. Kitab
Kitab Shalat
1.3. Kitab
Janazah
1.4. Kitab
Zakat
1.5. Kitab
Zakat Fitrah
1.6. Kitab
Shiyam (puasa)
1.7. Kitab
I’tikaf
1.8. Kitab
Haji
1.9. Kitab
Jihad
1.10.
Kitab Aiman (sumpah)
1.11.
Kitab Nadar
1.12.
Kitab Qurban
1.13.
Kitab Sembelihan
1.14.
Kitab Berburu
1.15.
Kitab Aqiqah
1.16.
Kitab makanan dan minuman yang haram
2.
Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ila’ (sumpah talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Li’an (mengatakan punggung istrinya sama dengan
punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radla’i (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad (berkabung)
3.
Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyu’ (jual beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan
transaksi)
3.5. Bai’il Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah
keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Bai’il Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan
buahnya)
3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Ju’li (upah bagi yang menemukan barang yang
hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)
3.12. Kitab Syuf’ah
3.13. Kitab Qismah (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang pailit)
3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)
3.22. Kitab Wadi’ah (menitipkan barang)
3.23. Kitab ‘Ariyah (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl (warisan)
3.29. Kitab ‘Itqi (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya
meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu
anaknya)
4.
Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)
4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di
kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)
5.
Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V. Mujtahid, Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1.
Mujtahid Mutlaq : yaitu para
Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari Rasul untuk
diikuti oleh umat.
2.
Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam
mazhab fiqih yang muktabar.
3.
Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih
banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah pokok
berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari
mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafi’i.
4.
Mujtahid fil Masa’il : yaitu
mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang, bukan pada masalah
pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi, Al Ghazali dalam mazhab Syafi’I,
Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.
5.
Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak
mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah yang belum
dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid ini mengetahui seluk-beluk dan
argumen para imam mazhab, mampu men tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama
dari pendapat imam mazhab yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri
dalam mazhab Hanafi, Ar Rafi’ dan An Nawawi dalam mazhab Syafi’i.
B. Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya
benar.
2. Bersih
dari hawa nafsu.
3. Mengetahui
bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf
(konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan badi’
(efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif
(konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta
mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti
kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak
mengetahui berbagai dialek bahasa Arab”.
4. Memahami
ilmu Al-Qur’an dan ilmu tafsir.
5. Mengetahui
ilmu hadits, atsar sahabat dan tabi’in.
6. Mengetahui
Ijma’ masa Khulafaur Rasyidin.
7. Mengetahui
ilmu fikih dan ushul fikih.
8. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah
nash, illat hukum, serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang
sejalan dengan syariat.
C. Mufti dan Hakim
Mufti adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang
hukum fiqih sesuatu masalah, sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan
vonis keputusan hukum terhadap suatu sengketa masalah antara dua pihak yang
bersengketa. Keduanya sama sama memutuskan hukum berdasarkan hukum syara’.
Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :
1.
Memberi fatwa lebih luas lapangannya
daripada menjatuhkan vonis putusan hukum. Fatwa boleh dilakukan oleh orang
merdeka, budak, pria, wanita, famili, kerabat, orang asing. Sedangkan vonis
putusan hanya diberikan oleh orang merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan
kerabat dengan yang bersengketa.
2.
Putusan hakim mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima boleh tidak.
3.
Fatwa mufti tidak dapat membatalkan
putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.
4.
Mufti tidak dapat memberi putusan
kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim sedangkan hakim harus memberikan
fatwa apabila telah menjadi suatu keharusan.
5.
Hakim sebaiknya tidak memberikan
fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dalam peradilan, karena
dikhawatirkan bila hakim memutuskan putusan yang berbeda dengan fatwanya,
tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al Qadhy pernah berkata :
“Saya memutuskan perkara diantara
kamu bukan memberikan fatwa”.
VI.
Ittiba’
dan Taqlid
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat
(ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan
taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen,
dalil-hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al Mustafa
mengatakan :
“Ittiba’
dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.
Hukum Taqlid :
a.
Taqlid yang wajib : taqlid kepada
Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.
b.
Taqlid yang haram :
1.
Tidak menghiraukan nash syara’
semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.
2.
Taqlid kepada seseorang yang belum
muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3.
Taqlid buta karena fanatik terhadap
orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih kuat yang
bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c.
Taqlid yang dibolehkan : mengikuti
pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai kompetensi meng
istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan
mengetahui hukum hukum syara’ secara mendalam.
Periode Taqlid :
1.
Periode pertama (pasca masa Imam
Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2.
Periode kedua dari abad ke-IV H –
abad ke-X H.
3.
Periode ketiga dari abad ke-X H
sampai masa Muhammad Abduh.
4.
Periode keempat dari masa Muhammad
Abduh – sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid
tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad
diantaranya :
1.
Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2.
Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3.
Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).
4.
Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5.
Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6.
An Nawawi
7.
Al Bulqini (724 – 805 H).
8.
Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9.
Al Asnawi (714-784 H)
10.
Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11.
Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H).
12.
Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang
Subulussalam.
13.
Asy Syaukani (abad XII H) pengarang
Nailul Authar.
14.
Muhammad Abduh, dari Al Azhar
menerbitkan tabloid Al Manar.
15.
Rasyid Ridha.
VII.
Ketentuan
Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib
Yaitu pekerjaan yang bila tidak
dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1.
Wajib Muthlaq = wajib yang tidak
ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah,
tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
2.
Wajib Muwaqqat = wajib yang
ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3.
Wajib Muwassa’ = wajib yang
diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang
sampai subuh.
4.
Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit
waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit
fajar sampai maghrib.
5.
Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa’
sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan
waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6.
Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan
kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7.
Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan
kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur
kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.
8.
Wajib Muhaddad = wajib yang
ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9.
Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang
tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10.
Wajib Mu’aiyin = wajib yang
ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11.
Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi
kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12.
Wajib Muaddaa = Wajib yang
ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13.
Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan
sesudah lewat waktunya qada’an.
14.
Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan
mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B. Sunnat
Yaitu bila dikerjakan mendapat
pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1.
Sunnat Hadyin = sunnat untuk
menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jama’ah.
2.
Sunnat Zaidah = sunnat yang
dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan, minum, adat,
kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3.
Sunnat Muakkadah = sunnat yang
sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib,
shalat tahajud.
4.
Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat
yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum
duhur.
C. Mubah
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1.
Jangan berlebihan.
2.
Jangan membuat perkara baru (bid’ah)
dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia
atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3.
Jangan sibuk dengan perkara yang
mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela,
tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1.
Makruh Tanzih = makruh yang tidak
dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh : merokok,
makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram
yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E. Haram
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa,
contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.
VIII.
Obyek
Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Obyek hukum dalam fiqih adalah beban
pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang
terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a.
Mungkin terjadi / bukan yang
mustahil terjadi.
b.
Sanggup dikerjakan.
c.
Dapat dibedakan.
d.
Diketahui berdasarkan dalil.
e.
Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek hukum adalah para mukallaf
(orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum)
apabila memenuhi beberapa syarat :
a.
Memahami perintah (beban hukum) yang
dibebankan kepadanya.
b.
Baligh (dewasa).
c.
Berakal (sadar dan waras).
Halangan – halangan :
1.
Gila
2.
Setengah gila
3.
Lupa
4.
Tidur
5.
Pingsan
6.
Mabuk
7.
Sakit, halangan untuk puasa, shalat
dengan berdiri.
8.
Haid
9.
Nifas
10. Mati
11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15. Tua renta pikun.
IX.
Ushul
Fiqih
A. Pengertian
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan
metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari
sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah (Hadits)
B. Ijma’ (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1.
Qiyas
2.
Istihsan
3.
Maslahah Mursalah
4.
Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] :
59
“Taatilah Allah
dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika
kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan
RasulNya.”
“Taatilah Allah” merujuk kepada
Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah
(hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan)
diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) ulil-amri.
“Kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah dengan yang dekat dan
serupa dengan yang telah ada pada Al-Qur’an dan atau Hadits, pelajari qarinah
(petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.”
Ayat diatas dengan jelas Allah
memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu
menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan
hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun
yang tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli
(hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika
menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang ada
pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab
Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW.
‘Rasulullah kembali bertanya : ‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’
Mu’adz akhirnya menjawab : ‘ Ajtahidur ra’yi Saya akan ber ijtihad
dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu
Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu
Dawud).
Hadits Mu’adz diatas juga
menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh
Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak
ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan Hadits.
B. Sumber Hukum Pimer
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil
yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita
dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada
yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca
kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum,
‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
2.
Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan
Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
1.
Memperkuat hukum yang ada di
Al-Qur’an.
2.
Menerangkan (bayan) hukum yang
disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3.
Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam
Al-Qur’an.
4.
Mentakhsish (meng khususkan) dari
ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5.
Menghapus (nasakh) hukum yang ada di
Al-Qur’an.
6.
Melengkapi hukum yang belum ada di
Al-Qur’an.
Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih
maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits
ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih
diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat
dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah
hadits dan mukhtaliful hadits).
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya
sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula
dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.
C. Istinbath hukum dari dalil Al-Qur’an dan Hadits
1.
Kejelasan
makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas,
terdiri atas :
a.
Zhahir, paling rendah tingkat
kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
“Dan
jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
(QS An-Nisa’ : 3).
Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal
sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir
masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
b.
Nash, lebih jelas dari zhahir karena
tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang
pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan
jumlah yang lain.
c.
Mufassar, lebih jelas dari nash,
karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih
mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian
datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan),
hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
“tidak dikenakan hukuman potong
tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”
“Tidak dikenakan hukuman potong
tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”
Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi
prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak
menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan
kelaparan.
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain
kecuali berupa nasakh.
d.
Muhkam, paling jelas karena tidak
menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil
maupun nasakh, seperti firman Allah :
“Dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya.”
(QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits nabi :
“Jihad itu terus menerus
sampai hari kiamat.”
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a.
Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada
sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Hadits nabi : “Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”
Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran
adalah pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan
karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak
mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam
mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian
umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain
yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri
atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak
sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau
tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk
kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang
yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat
sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak
memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus
dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam
Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri
yang harus dihukum potong tangan.
b.
Al-Musykil yaitu lafazh yang
maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang
musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini
mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan
mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu
dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang
tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat
membantu penafsirannya.
c.
Mujmal (global) yaitu lafazh yang
maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak
mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan
sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua
lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan
dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d. Mutasyabih yaitu lafazh
yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami
maknanya oleh akal ulama sekalipun
dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1.
Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan
tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2.
Ayat-ayat yang mengandung kata-kata
yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan
wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa [80] : 31), lalu ia
berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang
dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar,
sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan
diri”.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri
: ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
3.
Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan
sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha
Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4.
Ayat-ayat tentang perbuatan Allah
yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy,
Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
5.
Ayat-ayat tentang anggota tubuh
Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah
diatas tangan mereka, dsb
6.
Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat
metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7.
Huruf-huruf
hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat
mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum
yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI
tentang Muhkam – Mutasyabih)
2.
Petunjuk
Lafazh (dhalalah)
A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat
(tekstual)
B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang
tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang
tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat
menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung
kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang
sempurna.”
Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah
mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan).
Inilah yang dimaksud dengan nash.
2.
Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan
sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai
kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash
dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain
ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna
lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro
ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil”
(bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian
untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat
(rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2]
: 222 :
“Dan janganlah kamu mendekati mereka
sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi
pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi)
lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan
penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna
marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang
lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang
rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan
mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya
dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh
lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah)
lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak
disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
“Maka jika
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”
Ayat ini memerlukan suatu
lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada
puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu.
Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh
yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan
atas kamu ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya
adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga
maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan
ibu-ibumu.”
5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah)
lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya
pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :
“Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian
bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang
pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur
sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan
demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan
melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka
membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak
ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga
berpagi dalam keadaan junub.
B. Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada
pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a.
Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan),
yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari :
1.
Fahwal khitab, yaitu apabila makna
yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada
QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”
Ayat ini mengharamkan
perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka
dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain
seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan
dalam teks ayat.
2.
Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum
sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya … “
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan
pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti :
membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga
diharamkan.
b.
Mafhum Mukhalafah (perbandingan
terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari :
1.
Mafhum sifat, yang dimaksud adalah
sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti
… “
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti)
berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan
terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak
fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil
dan tsiqoh wajib diterima.
2.
Mafhum syarat, yaitu memperhatikan
syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
“Dan jika mereka (istri-istri yang
sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah)
berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi
nafkah.
3.
Mafhum gayah (maksimalitas),
misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
“Kemudian jika suami mentalaknya
(sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia
kawin dengan suami yang lain …
“
Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah
ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian
bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.
4.
Mafhum hasr (pembatasan, hanya),
misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
“Hanya Engkaulah yang kami sembah
dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak
boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a.
Ulama-ulama Hanafiah, menolak
berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
b.
Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak
memakai mafhum laqab.
3.
Cakupan
Lafazh
A. ‘Am (umum) – Khas (khusus)
Lafazh ‘Am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan
(juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
“Sesungguhnya Kami akan
menyelamatkan kamu dan keluargamu.”
Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah
diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda
dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk
keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan nuh berseru kepada Tuhannya seraya
berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya
janji Engkau adalah benar.”
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada
ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Allah berfirman, “Hai Nuh,
sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata
“keluargamu” yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
1.
Lafazh man (siapa), ma (apa saja),
aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2.
Lafazh ma (apa saja) dan man
(siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a.
QS Al-Baqarah [2] : 272 :
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah),
niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun
dianiaya.”
b.
QS An-Nisa’ [4] : 123
“Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.”
3.
Lafazh kullun (tiap-tiap) dan
jami’un (seluruh)
a.
QS Ali Imran [3] : 185 :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
mengalami mati.”
b.
QS Al-Baqarah [2] : 29 :
“Dia lah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu.”
4.
Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat
pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra’ [17] : 110 :
“Dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”
5.
Lafazh yang bersifat nakirah yang
terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan
larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a.
QS Al-Baqarah [2] : 48 :
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari
(kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau
sedikitpun.”
b.
QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka, sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”
6.
Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah,
qatibah dan sa’irun :
a. QS Al-An’am [6] : 130 :
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami
dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”
b.
QS At-Taubah [9] : 36 :
“Dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.”
7.
Isim berbentuk jama’ yang diawali
alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Ma’idah [5] : 42 :
“Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.”
8.
Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
“Dan jika kamu menghitung nikmat
Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”
9.
Isim-isim yang berfungsi sebagai
penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya
pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya.”
10.
‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’
(plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “.
Macam-macam penggunaan lafazh ‘am
(umum) :
a.
‘Am yang tetap dimaksudkan untuk
keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu tidak menganiaya
seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada
kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Kata “ummhat” ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan
peng khususan.
b.
‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah
khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :
“Kemudian malaikat memanggilnya
(zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang
dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c.
‘Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah.”
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain
ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis
(pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya
mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup
oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1.
Mukhashshish Muttashil (peng khusus
yang bersambung)
a.
Istitsna (pengecualian), contohnya
pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
b.
Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’
[4] : 23 :
“(Dan diharamkan bagi kamu untuk
mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah
kamu campuri.”
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi
istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak
tiri itu boleh dikawini.
c.
Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah
[2] : 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah
syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak
wajib berwasiat.
d.
Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah
[2] : 196 :
“Dan janganlah kamu mencukur
kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan”
merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e.
Mengganti sebagian dari
keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang
sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
2.
Mukhashshish Munfashil , yaitu peng
khusus yang berada di tempat lain;
a.
Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang
dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian
ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan perempuan-perempuan yang sedang
hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
“Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya.”
b.
Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan
hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk
seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya
Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan
binatang yang lain.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya
Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang
(sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang
dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan
(dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
c.
Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan
Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“Allah mensyari’atkan bgimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang
berstatus budak.
d.
Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan
Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera.”
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi
terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum
dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam
QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka mengerjakan perbuatan
keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
e.
Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan
akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 :
“Allah adalah pencipta segala
sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya
sendiri.
f.
Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan
indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
“Sesungguhnya aku menjumpai
seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu,
serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan
kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi
Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang
datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS
Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan tanyakanlah kepada mereka
(Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan
adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud
dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :
1.
Apabila didalam ayat Al-Qur’an
terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan
sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan
menghendaki makna lain.
2.
Apabila lafazh itu bersifat ‘am
(umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka
lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya
bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3.
Apabila lafazh itu bersifat umum dan
terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada
satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu
dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
4.
Takhsis jenis syarat, ghayah dan
sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
5.
Ulama Hanafiah berpendapat takhsis
Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) – Mubayyan
(terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits adalah sebagai “bayan”
(menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global). Dengan
adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami
maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan
penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh
yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i,
karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari
keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan
sumber yang menjelaskannya :
1.
Mubayyan Muttashil, adalah mujmal
yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS
An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan
dalam satu nash;
“Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah,
(yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak
mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang
meyatakan :
“Kalalah adalah orang yang tidak
mempunyai anak.”
2.
Mubayyan Munfashil, adalah bentuk
mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan
kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa
berupa :
a.
Dari ayat Al-Qur’an yang lain,
misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
“…Padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Kalimat “Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah
mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata “dan”. Bisa berkonotasi kata
penghubung (‘athaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf). Jika
kata “dan” dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut
adalah “hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui
takwilnya”. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka
konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui takwilnya” sedangkan
orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene tidak tahu takwilnya- berkata,
“kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”. Oleh karena itu, hal ini
memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash,
diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Ayat ini menunjukkan Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan
segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi
berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf “dan” pada QS
Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah
“yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b.
Dari Sunnah (hadits), contohnya pada
QS Al-Anfal [8] : 60 :
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “
Kata “kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang
dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
“Saya mendengar Rasulullah bersabda,
-sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- ‘Siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan
itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.’ ”
Macam-macam bayan (penjelasan)
terhadap lafazh mujmal :
1.
Penjelasan dengan perkataan (bayan
bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna.”
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap
rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih
binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak
mampu.
2.
Penjelasan dengan perbuatan (bayan
fi’li)
Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang
menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang
dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3.
Penjelasan dengan perkataan dan
perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
Perintah
mendirikan sholat tersebut masih
kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat
yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian
melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian
telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
4.
Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh
Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian
ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5.
Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam
satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu
beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga
kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6.
Penjelasan dengan meninggalkan
perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan
oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan
kemudian beliau meninggalkannya.
7.
Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau
Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya
(tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah
tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan,
itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8.
Penjelasan dengan semua pen takhsis
(yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang
terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap
lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang
mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara
rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1.
Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah
menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada
lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap
makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
“Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan
tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
“Perangilah orang-orang musyrik itu
semuanya.”
Kata “semuanya” itu adalah mufassar.
2.
Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu
mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga
tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya
tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global
(mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan
dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami
bersama pengertian dan tata caranya.
C. Mutlaq (tanpa batasan) – Muayyad
(dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa
suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
“Dan orang-orang yang menzihar istri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
(wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis
budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan
suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja).
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia
memerdekakan seorang budak yang beriman”
Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan
hukumnya masing-masing :
1.
Lafazh yang mutlaq tetap pada ke
mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya).
Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat
mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“(Pembagian harta pusaka) tersebut
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.”
Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak
dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi
batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari
sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi
tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas
sepertiga dari harta pusaka.”
2.
Sebab dan hukumya sama, maka pengetian
lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah
[5] : 3 :
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah dan daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat
diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-An’am [6] : 145 :
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh
dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai
atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat ini
bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”
Karena ada persamaan hukum
dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang
mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
3.
Sebab dan hukum salah satu atau
keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke
mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’
[4] : 43 :
“….Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu”
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap)
tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu
dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
lafazh “(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku” adalah muqayyad
karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu “bersuci”
tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43
adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6
adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq
[65] : 2 :
“Apabila
mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka rujukilah
kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lafazh “saksi” pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
“Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu,
maka hendaklah kamu menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
laki-laki (diantara kamu).”
Lafazh “saksi” pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan
“laki-laki”.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang
saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65]
: 2 ialah “rujuk pada istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282
adalah : “hutang-piutang”.
c.
Hukum dan sebab keduanya berbeda :
pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a
diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya
juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
Jadi Hukum lafazh mutlaq - muayyad :
-
- Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama
tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
- Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh
mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
- Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka
lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
4. Kaidah Makna Kata
a.
Makna Hakikat yaitu makna lahir.
Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernyta” maka kata “singa” itu
bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b.
Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada
kalimat “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata
singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani.
c.
Musytarak yaitu kata yang punya
lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu
penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa
pada perbedaan pendapat.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VIII)
5. Amr (perintah) dan Nahi
(larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum :
a.
Menunjukkan wajib.
b.
Menunjukkan sunah.
c.
Menunjukkan suruhan saja.
d.
Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul
:
a.
Larangan karena diri perbuatan,
seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat.
b.
Larangan karena sesuatu bagian
perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut
induknya.
c.
Larangan lantaran sesuatu sifat yang
tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum,
mengadakan jamuan.
d.
Laranga karena sesuatu sifat yang
tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jum’at
dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VII)
6. Pertentangan dan Kompromi Antar
Dalil
a.
Ta’arudl
Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab
Khallaf :
“Apabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita
ber-ijtihad untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak
dapat dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang
lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi
diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian, maka hendaklah yang
terkemudian dipandang menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui
kedua-duanya maka ditangguhkan.”
b.
Kompromi
Firman Allah pada QS Al-Baqarah : 180
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya yang dekat”
Firman Allah pada QS An-Nisa’ : 11
“Allah memerintahkan kepadamu
terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti bagian dua
wanita ….. “
Ayat pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan
meninggal sedangkan ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang
meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan
padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu apabila
meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai sepertiga dari
hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat warisannya. Sedangkan hartanya
yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan harus dibagi kepada ahli waris sesuai
aturan hukum waris dalam syariat Islam.
c.
Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka
ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah
(marjuh).
Prinsip-prinsipnya :
1.
Al-Qur’an lebih kuat dari Hadits
2.
Hadits Mutawatir lebih kuat dari
hadits Masyhur
3.
Hadits Masyhur lebih kuat dari
hadits ahad
4.
Hadits sahih lebih kuat dari hasan
lebih kuat dari dhaif.
5.
Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan
Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau muslim saja.
6.
Hadits Marfu’ (disandarkan kepada
Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada Sahabat)
7.
Sanad yang tinggi lebih kuat dari
sanad yang lebih rendah.
8.
Apabila berlawanan antara yang
mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan (untuk
kehati-hatian).
9.
Apabila berlawanan anatara yang
menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang menghalangi.
10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d.
Nasakh
Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila
diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka
dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.
1.
Nasakh Sharih, bila ada penyataan
tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :
“Aku dahulu melarangmu dari
menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan kamu
kepada akhirat.”
2.
Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang
berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir point V)
D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah
fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qur’an dan
Hadis yang bersesuaian dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak yang
dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu’ (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih
suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :
“Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan
lancarlah lidah menuturkan furu’ (hukum fikih)”
Kaidah Fikih Global :
“Mengambil maslahat dan menolak
masfadat”
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan
hampir semua masalah furu’ yang banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : “segala sesuatu
bergantung kepada niat”
Dasarnya hadis nabi “Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan
sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannya”
Kaidah Pokok ke-2 : “yang yakin
tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”
Dasarnya hadis nabi “Apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam
perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah
belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat
bau”
“Apabila
seseorang dari kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat
yang telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah
keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam
kesempitan ada kelapangan”
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : “Allah menghendaki kemudahan bagimu
dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
QS Al-Haj :78 : “Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agama”
Hadis nabi “Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar
dan mudah”
Hadits nabi : “Mudahkanlah jangan dipersukar.”
Kaidah Pokok ke-4 : “Kemudhorotan
harus dihilangkan”
Dasarnya Firman Allah “Dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumi”
dan ayat “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang
membuat kerusakan”
kemudian hadis nabi “tidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan
membuat kemudhorotan pada orang lain”
Kaidah Pokok ke-5 : “Adat dapat
dijadikan hukum”
Dasarnya ayat “Dan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut” dan hadis nabi “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula
disisi Allah”
Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah
cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil
manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk
menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang
paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana,
maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram juga haram.
6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju
kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan
ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil
yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada
dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang
satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang
dimaksud disini hukum masalah furu’ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah
muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau yang qoth’i)
12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat
(kuratif).
14. Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. Sumber Hukum Sekunder
3.
Ijma
Ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah
wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat praktis
‘amaly.
Dalil yang menjadi dasar Ijma’ :
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] :
59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul
dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.”
“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk
kepada Ijma’ (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
“Apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.”
“Umatku
tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”
“Ingatlah,
barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah,
karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah
dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang yang menyendiri.”
a. Ijma’ Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum
diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para
sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah
tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar
memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits
maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan
dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu
Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat
Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijma’ sahabat pada masa khalifah Abu
Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh
seluruh kaum muslimin.
b. Ijma’ Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah
pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota
yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang
didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan
mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang
sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh.
Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijma’ ulama Kufah, begitu pula Imam
Malik menghargai ijma’ ulama Madinah.
Tingkatan Ijma’ :
a.
Ijma’ Sharih, jika semua ulama
menyatakan kesepakatannya.
b.
Ijma’ Sukuti, jika seorang mujtahid
menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh
ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari
pendapatnya, artinya ada juga yang mendiamkannya. Ijma’ sukuti ini masih
diperdebatkan apakah dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama
belum tentu menyatakan kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.
4.
Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS At-Taubah :
100 :
“Orang-orang yang terdahulu lagi
pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan
sekalian umatku.”
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : “Bila ada konsensus pendapat dari
sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat,
maka saya pilih. Bila ada pendapat dari tabi’in maka saya teliti.”
5. Qiyas
Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang
mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau
Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan
hukum khamr (arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul
dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam
suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”
“Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada
Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa
dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan atau Sunnah Rasul-Nya
(Hadits).
b.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah :
179 :
“Dan dalam qisash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu”.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya
qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.
c.
Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91
:
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya
judi dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga
karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits – Hadits Nabi :
1.
Dari
Umar bin Khatab : “Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium
istriku, sedang aku sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah bersabda : ‘Bagaimana menurut
pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?’. ‘Hal
itutak mengapa’, jawabku. ‘Maka mengapa (kamu menanyakan) ?’ Jawab Rasulullah”. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan
mencium istri ketika berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya
mengandung persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada
tahap membatalkan.
2.
“Seorang wanita
dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : “Ya Rasulullah, ibuku
telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan
haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji
untuknya ?. ‘Benar’, jawab Nabi. “kerjakan haji untuknya. Tahukah kamu
andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ?
‘Ya’, jawabnya. Rasulullah berkata : ‘Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak
Allah lebih berhak untuk dipenuhi’ ”. (HR
Bukhary dan Nasa’i).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada
Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang
menjabat sebagai gubernur Basrah :
“Lihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka
qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu”.
Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1.
Asal, yaitu perkara yang sudah ada
ketentuan hukumnya pada nash Al-Qur’an dan hadits.
2.
Furu’, yaitu cabang yang hukumnya
disamakan dengan hukum asal.
3.
Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui
pada asal.
4.
Illat, yaitu sebab yang sama yang
menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada hukum furu’.
Syarat-syarat qiyas :
a.
Hukum asal tidak dinasakh.
b.
Hukum asal jelas nashnya.
c.
Hukum asal dapat diterapkan pada
qiyas.
d.
Hukum cabang tidak boleh mendahului
hukum asal.
e.
Mempunyai illat yang sama.
f.
Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g.
Ada illat ada hukum, tidak ada illat
tidak ada hukum.
h.
Illat tidak boleh bertentangan atau
menyalahi syara’.
Macam-macam Qiyas :
1.
Qiyas Aula / Awlawi / Qath’i
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut
diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
“Kedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila
mata telah tidur terlepaslah tali”.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang
menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.
2.
Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan
kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisa’ : 25 :
“Maka atas mereka (budak-budak
wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita yang merdeka”.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman
dera budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu
separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3.
Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima
hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain
dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4.
Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil
illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib
dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang
berkembang.
5.
Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal
dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan hukum pada asal.
6.
Qiyas fi Ma’nal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal
dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki
kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.
7.
Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang
mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang
pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu
dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam
membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai manusia karena ia anak
keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat
diperjual-belikan dan diwakafkan.
8.
Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun
perbedaan pemisah antara asal dan furu’ diyakini tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua
kepada keharaman mengucapkan ‘cis’, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi
keduanya.
9.
Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan
benda tajam.
10.
Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian
yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat
sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11.
Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu
sebab yang adanya hukum beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka
hukumnya juga hilang.
12.
Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan
hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan
tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
“Dan pada kemaluan seseorang kamu
ada sedekah. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah kami memuaskan syahwat dan
memperoleh pahala ? Jawab Nabi : ‘Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan
syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia
meletakkan pada yang halal, ada pahala baginya”. (HR Muslim).
13.
Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni
kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a.
Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang
dinashkan dengan terang atau dengan isyarat atau dengan ijma’.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27
:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi
salam kepada penghuninya”.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : “Ijin dilakukan semata-ata untuk
kepentingan (keselamatan) mata”.
b.
Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan menjama’ shalat dimasa hujan. Tidak ada
keterangan bahwa hujan itu menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa
safar menjadi sebab bolehnya jama’. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah
hujan.
14.
Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha
shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya
dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syara’ bahwa kesukaran itu
meringankan hukum.
15.
Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syara’
membolehkan atau menolaknya.
Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati
dapat menerima warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada
pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat
warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan
untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).
6. Istihsan
yaitu : keluar dari nash
karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis
harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan
menimba air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara
hukum syara’ dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh :
dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh
pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu mengekalkan hukum yang
telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh :
seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah
batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu pertalian antara dua
hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat
dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya
wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10. Sadudz Dzariah
Yaitu mencegah sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang
menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita,
berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga
haram karena semua itu jalan menuju zina
11. Urf
yaitu kebiasaan yang tetap
pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syara’, contoh = sudah
menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos
kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli
masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual
berdasarkan Urf.
12. Adah
yaitu sesuatu yang
dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
13. Ta’amul
yaitu adat-istiadat kebiasaan
dalam pergaulan mumalah manusia
14. Bara’ah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang
memberatkan
15. Istiqra’
yaitu memeriksa seteliti
mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh
sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul
pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu
hukumnya sunnah.
16. At-Taharri
yaitu mempergunakan segala
kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
17. Ar Ruju’u ilal manfa’ati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum
berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal
muqaddarati wal qaulu bi ‘itibaaril mashalih fil
mu’aamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg
pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat
tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum
muslimin
19. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu
berubahnya hukum (masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya
keadaan dan jaman.
Yang
mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar bin
Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjama’ah dibawah satu imam dengan
pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat kepada muallaf
(orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan Islam sudah kuat, tidak
membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang menaklukkan demi
kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri
pada saat paceklik dan kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa
qila
yaitu berubahnya hukum karena
berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para
Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
21. Al Ishmah
yaitu menjadikan hujjah
perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul
memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan
Bani Quraizah.
22. Syar’u man qablana
yaitu : hukum syariat orang
sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
23. Al ‘amalu bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan
prioritas memegangi nash yang lahir
24. Al akhdzu bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang
lebih kuat dari dua dalil
25. Al Qur’ah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan
undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
26. Al ‘amalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang
lebih rajih (kuat).
27. Ma’qulun nash
yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila
tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
28. Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan
suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
29. Tahkimul hal
yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan
sekarang yang sedang berlaku
30. ‘Umumul balwa
yaitu membolehkan sesuatu
yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
31. Al ‘amalu bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang
lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat
kemiripannya
32. Dalalatul iqtiran
yaitu menyamakan hukum karena
bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada
kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”
33. Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh
dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi “berhati hatilah dengan firasat orang
mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allah”
34. Ru’yan nabi
yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam
mimpi, dasarnya hadis nabi : “mimpi seorang muslim itu 1/46 kenabian”
35. Al akhdzu bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang
paling mudah dari dua pendapat
36. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang
lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
37. Faqdud dalil ba’dal fihshi
yaitu menetapkan tidak ada
hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum
sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
X. Maqashid Syari’ah (Tujuan
Syara’)
Melalui penelitian yang mendalam
akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah
bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung
kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal
manusia tidak mampu memahaminya.
Tuhan tidak mensyariatkan
hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’ bermaksud dengan
hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami
hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’
dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk
lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih
dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat
maka perlu memahami maksud syara’ (maqashid syari’ah).
Segala hukum muamalah, akal dapat
mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum yaitu berdasarkan
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap mereka.
Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa
mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
“Dasar
syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya
adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar
dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’, dari maslahat kepada
masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu adalah
keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan
bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan
kebenaran Rasul-Nya”.
Maksud-maksud
syara’ yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital)
bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah
tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.
2.
Menyempurnakan segala yang dihajati
manusia.
Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan
untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban
hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan
tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.
Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala
yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan,
kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka
tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang
sehat dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan
Maksud Syara’
1.
Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila
tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari
Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang
merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan
agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk
dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan
pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan
hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan
dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar
barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian,
perampokan tentu rusak maslahat harta.
2.
Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan
hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar
shalat ketika dalam safar atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.
3.
Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat
ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan
kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara
akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.
XI. Masalah Ushul (pokok) – Furu’
(cabang)
A. Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok) adalah masalah
yang menyangkut I’tikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun
iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits yang menerangkan
hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan
sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qath’i (pasti).
Seorang muslim dalam masalah ushul
ini harus benar I’tikadnya (keyakinannya). Salah dalam I’tikad masalah ushul
bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Jadi dalam
masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.
Contoh-contoh masalah ushul :
a.
Tidak ada tuhan selain Allah.
b.
Allah tidak beranak dan tidak
diperanakkan.
c.
Allah satu satunya tempat
bergantung.
d.
Tauhid Rububiyah (meyakini Allah
satu satunya pencipta)
e.
Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu
satunya yang disembah dan diibadahi)
f.
Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu
satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
g.
Mengimani kebenaran dan kesucian
Al-Qur’an.
h.
Mengimani kebenaran Nabi Muhammad
sebagai Rasul yang maksum.
i.
Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j.
Mengimani adanya akhirat (alam
kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
k.
Mengimani adanya takdir yang baik
dan buruk.
l.
Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu Kalam point
terakhir)
Masalah ushul yaitu akidah ibarat
akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, I’tikad-tauhid merupakan satu
batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi,
perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik
masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini.
Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bid’ah akidah
seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah,
Musyabbihah, Mu’atillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok sempalan dalam masalah
Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh hadits Nabi :
“Umatku
akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang
selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat
bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab : ‘golongan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi, ‘Apakah golongan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang
sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatku’ “
B. Masalah Furu’ (cabang)
Masalah Furu’ (cabang) adalah semua
hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara ibadah, muamalah,
urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furu’ ini yang berhubungan
dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah
furu’iyah ini tidak semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak
yang masih mujmal, masih ‘am (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan),
masih musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan
cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi
penafsiran dan sebagainya.
maka dalam masalah furu’iyah ini
sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering
terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam
masalah furu’ yang ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber
toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap paling baik diantara
pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya dan
membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah
furu’ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua
pahala, bila salah dapat satu pahala.
Contoh-contoh masalah Furu’
a.
Detail tata cara sholat
b.
Fiqih Zakat
c.
Fiqih Puasa
d.
Fiqih Haji
e.
Fiqih Jual-Beli
f.
Fiqih Sewa-Menyewa
g.
Fiqih muamalah
h.
Urusan duniawiyah
i.
Dan lain-lain.
Masalah furu’ itu ibarat ranting,
dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus satu
(sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam cabang. Jadi
dalam masalah furu’ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada
perbedaan pendapat.
XII. Dalil Qath’i (pasti) –
Dzani (dugaan)
A. Dalil Qath’i (pasti)
Dalil disebut Qath’i (pasti) apabila
memenuhi dua persyaratan :
1.
Qath’i wurudnya (sumbernya) yaitu :
Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir
2.
Qath’i dhalalah-nya (petunjuk
lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih
(jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qur’an
dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qath’i diatas maka menjadi dalil
Qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve.
Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh
ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah Ushul dalilnya
adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’ dalilnya tidak qath’i. Tetapi
ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i sehingga semua ulama menyepakatinya
dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
a.
Hukum haram bagi daging babi,
bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
b.
Hukum rajam bagi pezina mukhson
(sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah
menikah).
c.
Hukum Qisash (balas bunuh) bagi
pembunuhan yang disengaja.
d.
Hukum potong tangan bagi pencuri.
e.
Hukum dera 80 kali bagi orang yang
mendakwakan tuduhan dusta.
f.
Hukum potong tangan, kaki dan
disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku
huru-hara, pemberontak, dsb)
B. Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil yang tidak
memenuhi syarat dalil qath’i, yaitu :
1.
Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu :
Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
2.
Dzani Dhalalahnya (petunjuk
lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak
sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.
Kebanyakan masalah furu’ yang
ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa sahabat,
istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan tersier yang
diuraikan pada point IX B diatas.
XIII.
Tentang
Bid’ah
Pembahasan tentang bid’ah merupakan
masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan pemahaman tentang
masalah bid’ah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan pemicu
utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah
Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata bid’ah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan
kepada kelompok lain.
A. Pengertian Bid’ah Secara Bahasa
Secara bahasa bid’ah itu berasal
dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Kata
“bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah
ada pada masa Nabi.
B. Pengertian Bid’ah Secara Istilah.
Secara istilah, bid’ah itu
didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu
lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka
ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru
(diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin
Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafi’i (wafat 660 H) dalam
kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan
(baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8
keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan
bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah.
Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai
bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah
kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Kelompok
Pertama
Kelompok yang menganggap bahwa
perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak
selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
a. Tokoh-tokohnya
Di antara para ulama yang mewakili
kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti
Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi,
Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani.
Dari kalangan Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah
Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan
Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah berkelompok-kelompok yang
terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat
“perkara baru” yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah
dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya.
Setelah itu Umar berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.
Perbuatan itu tidak ditentang oleh
para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih terus berlangsung
sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat
dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau
bid’ah yang baik.
Hadits yang mengindikasikan adanya
bid’ah yang baik adalah hadits berikut :
“Siapa
yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran
orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah
sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang
mengamalkannya hingga hari qiyamat”.
Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu
Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1. Ada riwayat
dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :
“Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah
terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan
sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang
sunnah Nabi”.
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan
bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :
“Perkara baru (bid’ah) itu ada dua
macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an,
Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan
keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas
adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.”
3. Tentang bid’ah, sebagian ulama membagi kepada hukum
yang lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung
membagi hukum bid’ah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh,
mubah, haram).
Bisa kita nukil pendapat Imam
Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang tidak terjadi
pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bid’ah wajib,
bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
c. Contoh-contohnya :
Bid’ah yang wajib :
-
Membukukan mushaf Al-Qur’an.
-
Membukukan hadits Nabi (padahal ada
hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur
dengan Al-Qur’an).
-
Kodifikasi, perumusan dan penulisan
ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir,
ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq
(logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
-
Mempelajari teknologi militer untuk
menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bid’ah yang haram :
-
Bid’ah dalam masalah akidah berbagai
firqoh sempalan, seperti :
a.
Khawarij yang memisahkan diri dan
selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat
zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan
sesama muslim.
b.
Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam
Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci
maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
c.
Murjiah yang mempunyai keyakinan
iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
d.
Qadariyah yang menolak takdir,
Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
e.
Mujasimah dan Musyabbihah yang
menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.
f.
Mua’tillah yang menolak sifat-sifat
Allah.
g.
Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an
adalah makhluk.
- Bid’ah dalam ibadah, seperti :
a.
Menambah atau mengurangi jumlah
rokaat shalat lima waktu.
b.
Shalat dengan tambaan bacaan bahasa
Indonesia.
c.
Puasa sehari penuh (tidak berbuka
saat maghrib).
d.
Mewajibkan zakat terhadap
barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e.
Melakukan haji tidak ke Mekkah.
-
Bid’ah yang Sunnah :
a.
Shalat Tarawih berjama’ah.
b.
Adzan pertama pada shalat Jum’at.
c.
Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d.
Mendirikan sekolah/madrasah/majelis
ta’lim.
-
Bid’ah yang Makruh :
a.
Menghias masjid.
b.
Menetapkan waktu tertentu untuk
ibadah.
c.
Perdebatan yang sengit dalam masalah
khilafiah.
d.
Sistem pemerintahan yang monarki.
e.
Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah
untuk tujuan duniawi semata-mata.
-
Bid’ah yang Mubah :
a.
Makan menggunakan sendok.
b.
Memakai pakaian yang bagus.
c.
Membuat rumah yang besar.
d.
Menggunakan peralatan modern.
e.
Dzikir berjama’ah.
f.
Bersalam-salaman setelah shalat
berjama’ah.
Kelompok
Kedua
Kelompok ini menganggap bahwa yang
disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah sesat, berdasarkan pemahaman
tekstual keumuman lafazh hadits “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”
Kelompok ini menganggap semua
perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah dhalalah. Sedangkan perkara
baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai “sarana”. Hukum sarana itu
tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju
yang wajib juga menjadi wajib.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat
demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan
Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar
Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili
oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah menurunkan
syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS
Al-Maidah: 3)
Hadits Nabi :
“Bahwa
semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat”.
“Barang
siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami
maka amalan tersebut akan tertolak.”
(HR Muslim 1817)
c. Contoh :
-
Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi,
maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-
Dzikir berjama’ah tidak ada dijaman
Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
-
Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka
itu termasuk bid’ah dhalalah.
-
Tahlilan tidak ada dijaman Nabi,
maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Tahqiq
:
1.
Kedua kelompok sepakat bahwa tidak
semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan
dan urusan duniawi tidak termasuk bid’ah dhalalah.
2.
Perbedaan pendapat terjadi pada :
perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya
:
a.
Shalat Jum’ah dengan Kutbah Bahasa
Indonesia, itu termasuk bid’ah dhalalah atau tidak.
b.
Shalat Sunah berjama’ah itu
bid’ah dhalalah atau tidak.
c.
Dzikir berjama’h itu bid’ah dhalalah
atau tidak.
d.
Peringatan maulid Nabi itu bid’ah
dhalalah atau tidak.
e.
Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7,
40, 100 hari orang meninggal itu bid’ah atau tidak.
3.
Hadits nabi “Semua perkara baru (bid’ah) adalah
sesat (dhalalah).” Secara tekstual memang
mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bid’ah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (‘am),
lafazh ‘am masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata
memang ada takhsisnya yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat
ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Jadi tidak “semua” perkara baru bid’ah dhalalah, masih
memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4.
Riwayat-atsar yang menunjukkan para
sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a.
Khalifah Abu Bakar mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya
dari Nabi.
b.
Khalifah Usman menyatukan Al-Qur’an
dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c.
Khalifah Usman menambahkan adan
menjadi dua kali pada Shalat Jum’at, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan
manusia bahwa waktu shalat Jum’at sudah dekat.
d.
Khalifah Umar bin Khatab
melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h dibawah satu imam yang belum pernah
dilakukan di jaman Nabi.
e.
Khalifah Umar bin Khatab tidak
memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka jelas-jelas termasuk
muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu
lagi membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.
f.
Khalifah Umar tidak memotong tangan
pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g.
Khalifah Umar menetapkan orang yang
mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan
urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus.
Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap
jatuh talak satu.
h.
Khalifah Umar tidak membagikan tanah
taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi
mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para
perajurit.
i.
Ibnu Umar menyebut bahwa shalat
dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
j.
Khalifah Umar bin Abdul Azis
membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits
(karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an).
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara
baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat
dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5.
Jadi jangan gampang memvonis bid’ah
dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat
perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6.
Tentang adat, tradisi atau perkara
mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan
dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya
tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang
membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bid’ah
dhalalah.
XIV. Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam masalah ushul, atau masalah
furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak
boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak
yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang
menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas
menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah
akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah,
Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.
Dalam masalah furu’ yang dzani dan
ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan pendapat.
Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau
mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti
terjadi) dan harus saling ber toleransi.
Perbedaan pendapat dalam masalah
furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman sahabat Nabi
dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap
bersatu, tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah,
tidak saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah “menghukumi haram”
terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qath’i yang tegas menunjukkan hukum
haramnya.
Berikut
ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah
ikhtilaf :
Khalifah Harun Al Rasyid pernah
berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana
Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab
oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman,
sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan
ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan
pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu
hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah engkau mau shalat dibelakang
orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi
Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang
Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat
bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi
manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan
tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan :
“Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada
beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan
lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk
ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu
menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak
memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik
lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di
kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada
mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas
mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak
gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qath’i yang tegas
mengharamkannya.
Imam Al Auza’i (mufti dan fuqaha di
Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang mencium istrinya :
“Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku
katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku
tidak akan mencelanya”.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata
tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami tidak melakukannya tetapi kami
tidak mencela yang melakukannya”.
Suatu hari, ada perbedaan perdebatan
terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Mu’in tentang hukumnya menyentuh
kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh
Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Mu’in : “Orang itu harus wudhlu lagi”.
Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai
dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang
diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan
pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan
pendapat Ammar bin Yasir.
Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad
bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah, derajad Ammar dan Ibnu Umar sama.
Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.”
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni
menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal : “Menurut
penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda
dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut
mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak
makruh. Karena para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih
tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum
cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan
(ijma’). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat
atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh
imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat
dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan
para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal karena keluar darah.
Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah
Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu,
karena mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam
tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang
Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya
berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam
Syafi’i shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa
rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka
Imam Syafi’I menjawab : “Saat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk
Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah)”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa
menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang berpendapat menjaharkan (membaca nyaring)
“Bismillahirrahmanirrahim” dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama
Madinah yang tidak pernah menjaharkan “Bismillahirrahmanirrahim”
Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al
Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al Makhrumi, bahwa
yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah
sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab
tegas, “Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.
Lalu Al Hushain meminta jalan
keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada saya, bahwa dia
tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?”. Imam Ahmad bin
Hanbal menjawab : “Kamu tahu pengajian para ulama Madinah ?” Al Hushain
menjawab, “Ya” Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka
pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. “Apakah kalau mereka memberikan fatwa
(berbeda), istri saya tetap halal ?” maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya
!”.
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra
meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu kami bersama Abdullah bin
Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya :
“Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa raka’at ?” Mereka menjawab,
“Empat raka’at”. Maka Ibnu Mas’ud langsung shalat empat raka’at tanpa membantah.
Mereka langsung mempertanyakan,
“Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan Abu Bakar
melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Memang, dan sekarang
saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah
imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada
saat seperti) ini adalah buruk”.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i
meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini
bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu,
maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada
shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.
Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam
At Tahmid : “Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul
Malik berkata : “Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami,
selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan
hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwatta’; sejauh yang penulis
temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam
ilmu dan agamanya”.
Penulis berkata : “Tapi kenapa anda
tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?” Beliau menjawab
: “Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al
Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa
mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan
kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi
imam-imam kita”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya
mengatakan, “Apabila seorang makmum berjama’ah dengan imam yang membaca qunut
pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak
perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku’ atau sesudahnya. Sebaliknya,
kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut.
Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda
dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk
menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baik”.
Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan
sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku
tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan
membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan
pintu yang lain untuk keluar”.
Terlihat disini, bahwa keinginan
yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya supaya
tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian lain dalam buku Majmu
Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu, para imam, Ahmad dan
lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan
sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati
orang orang yang beriman”.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun
dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata : “Tidak boleh keluar (menyalahi) dari
adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena
Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Ka’bah begitu saja, seraya
bersabda : “Kalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman
fiqih ikhtilaf :
1.
Persatuan adalah wajib.
“Aku wasiatkan kepada kalian (Agar
mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian
generasi berikutnya (tabi’it tabi’in). Kalian harus tetap dalam jama’ah.
Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang
sendirian dan dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa
menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jama’ah.” (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2.
Menjauhi dan menghindari perpecahan.
“Berpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan
berpecah belah”. (QS Ali Imran : 103).
“…dan janganlah kamu saling
berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamu”. (QS Al Anfal : 46).
3.
Perbedaan pendapat dalam masalah
furu’ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat
dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi : “Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat”.
Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul
Azis berkata :
“Saya tidak senang bila para sahabat
Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak berselisih (berbeda)
pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kita”.
4.
Saling bertoleransi terhadap
perbedaan pendapat masalah furu’ yang ijtihadi.
5.
Tidak ada toleransi pada perbedaan
pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang
dalilnya sudah qath’i (pasti) dan sharih (jelas).
6.
Tidak memaksakan pendapat kepada
orang lain.
7.
Tidak memastikan dan tidak menolak
mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
8.
Bersikap moderat (pertengahan),
tidak ekstrim berlebih-lebihan.
“Jauhkanlah diri kamu dari
berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya
disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama”. (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
hibban)
9.
Bersikap obyektif dan menelaah
perbedaan pendapat diantara para ulama.
10.
Menahan diri dari “menyerang”
kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis
sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bid’ah) atau mengkafirkan.
11.
Lebih memprioritaskan masalah yang
lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf,
seperti :
a. Ketinggalan
science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
b. Kemiskinan
dan kebodohan umat.
c. Kezaliman
dan kesewenang-wenangang politik
d. Perang
pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis,
hedonis.
e. Degradasi
moral dan spiritual.
f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12.
Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a. Mewajibkan
taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b. Meneriakkan
selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi
menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
c. Melarang
taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa
sekarang.
d. Merasa
kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari
kesalahan.
e. Berperasangka
baik kepada orang lain.
f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13.
Tidak menyakiti orang yang
berbeda pendapat.
14.
Berdialog dengan cara yang baik dan
ilmiah.
15.
Menjauhi perdebatan sengit.
XV.
Fikih
Kotemporer
DR. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama
suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qur’an), dikenal moderat, matang dalam fiqih
dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat gelar “The Man of The Year” dari pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya “Kebangkitan
Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan” menuliskan pemikirannya
yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk menambah kematangan kita
dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer
sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu
:
1.
Dari
formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji,
‘hafal’ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul
husna, dsb itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih
penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada
Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2.
Dari
Simbol menuju substansi.
Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab,
memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu
semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya
yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat
dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan,
berperasaan dalam etika, dsb.
3.
Dari
pembicaraan menuju amal
Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan
maka mengamalkannya itu jauh lebih penting.
4.
Dari
polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil,
mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua
termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan
ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni
fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah,
itu semua jauh lebih penting.
5.
Dari
sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok,
mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan
argumen itu adalah sikap ilmiah.
6.
Dari
emosional menuju rasional
Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif
menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok
lain dan
7.
Dari
ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim berlebihan :
a.
Tidak mengakui pendapat lain.
b.
Memaksakan pendapat.
c.
Keras bukan pada tempatnya (pada
masalah furu’ yang ijtihadi).
d.
Kasar, menyakiti.
e.
Buruk sangka.
f.
Memvonis orang lain sesat, mubtadi,
fasik, kafir.
g.
Liberalis.
h.
Literalis.
i.
Suka men-generalisir, tanpa memilih
dan memilah.
Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :
a.
Antara mengikuti mazhab dan non
mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
b.
Antara pengikut tasawuf dan yang
menentang tasawuf.
c.
Antara rasionalis dan literalis.
d.
Antara yang mengabaikan politik dan
yang semata mata berkutat dalam politik.
e.
Antara yang terburu-buru memertik
buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang
lain.
f.
Antara kelompok idealis yang tidak
melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide – ide.
8.
Dari
menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas
konsep bid’ah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak
ada di jaman Nabi adalah bid’ah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup
sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah
pandangan yang menyulitkan.
Padahal Allah berfirman :
“Dia (Allah) tidak menghendaki
adanya kesulitan bagimu”. (QS Al Baqarah
: 185).
“Dia tidak menjadikan kesukaran
dalam agama atas diri kalian”.
(QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
“Agama
yang disukai Allah adalah agama yang mudah”.
(HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)
“Sesungguhnya Allah menyukai kalau
ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka dipenuhi azimah
(ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya”. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang
mendhaifkannya)
9.
Dari
jumud menuju ijtihad.
Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni,
tidak mau mempertimbangkan maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan
perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan
sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan
umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10.
Dari
taklid menuju ittiba’.
Sikap taklid adalah mengikuti
pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittiba’
adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik.
11.
Dari
fanatisme menuju toleransi.
Ciri sikap fanatik :
a.
Menganggap dirinya paling benar.
b.
Menganggap semua yang lain pasti
salah.
c.
Keras pada masalah furu’ yang
ijtihadi
d.
Tidak mau meninggalkan perkara yang
sunnah untuk menjaga solidaritas.
e.
Tidak mau menerima pendapat lain
yang lebih kuat.
Ciri sikap toleran :
a. Tidak merasa yang paling benar.
b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap keras pada masalah furu’ yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas
persamaan.
e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih
kuat.
12.
Dari
eksklusifisme menuju inklusifisme.
13.
Dari
keberingasan menuju kasih sayang.
14.
Dari
perpecahan menuju persatuan.
15.
Dari
perselisihan menuju solidaritas.
No comments:
Post a Comment